Nama : Endang Wulandari
NPM : 22313905
Kelas : 3TB06
Mata Kuliah : Hukum dan Pranata Pembangunan
Janji
adalah sebuah kesepakatan. Perjanjian adalah perikatan di mana hak dan
kewajiban yang timbul dikehendaki oleh para pihak (subyek hukum). Setiap orang
berhak mengadakan perjanjian, dengan syarat perjanjian itu memenuhi Pasal 1320
KUHPerdata, yaitu:
a.
Adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (konsensus);
Persetujuan kehendak ini sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan atau tekanan
baik berupa kekerasan fisik atau upaya untuk menakut-nakuti dari pihak
manapun juga agar orang tersebut mau menyetujui perjanjian, persetujuan membuat
perjanjian ini benar-benar keinginan sukarela para pihak. Dalam hal ini juga
tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan. Suatu perjanjian yang di dalamnya
terdapat kekhilafan atau penipuan maka perjanjian tersebut menjadi batal.
b.
Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (capacity);
Kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian di sini maksudnya adalah pihak yang membuat
perjanjian telah dewasa sehingga ia dikatakan cakap untuk melakukan perbuatan
hukum. Dewasa dalam hal ini artinya ia telah berumur 21 tahun atau sudah
menikah sebelum berumur 21 tahun. Berdasarkan ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata,
seseorang dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah orag yang belum
dewasa, di bawah pengampuan, dan wanita bersuami. Bagi mereka yang apabila
melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka. Untuk wanita yang
bersuami, menurut hukum nasioanl Indonesia hal ini tidak berlaku lagi sehingga
ia dapat mengadakan perjanjian tanpa seijin suami. Suatu perjanjian yang tidak
memenuhi syarat kecakapan ini dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim.
c.
Suatu hal tertentu (objek);
Suatu
hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian, prestasi yang wajib
dipenuhi. Berdasarkan Pasal 1234 KUHPerdata prestai atau objek hokum dibedakan
atas:
- Memberikan sesuatu;
- Berbuat sesuatu;
- Tidak berbuat sesuatu.
d. Suatu sebab yang halal (causa).
Sebab
yang halal berdasarkan Psal 1320 KUHPerdata ini memiliki arti tentang isi
perjanjian itu, bukan merupakan sebab yang mendorong seseorang membuat suatu
perjanjian.
Syarat
(a) dan (b) yang dikemukakan di atas tadi disebut syarat subjektif, karena
melekat pada diri orang yang mengadakan perjanjian. Jika syarat ini tidak
dipenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan. Dalam keadaan ini maka
akibat-akibat yang timbul dari perjanjian itu dikembalika ke keadaan semula
sebelum diadakannya perjanjian.
Syarat
(c) dan (d) disebut syarat objektif, karena mengenai sesuatu yang dijadikan
objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi
hukum dengan dimintakan pembatalan kepada hakim.
Perjanjian
yang dibuat oleh para pihak tersebut kemudian mempunyai kekuatan mengikat
seperti undang-undang. Hal ini diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu “Semua
perjanjian yang dibuat dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang mempunyai kekuatan sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Jika ada pihak yang melanggar perjanjian yang mereka
buat, maka dianggap sama dengan melanggar undang-undang, sehingga diberi akibat
hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi, siapapun yang melanggar perjanjian, ia
dapat dituntut dan diberi hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam
undang-undang (perjanjian).
Berdasarkan
kedua Pasal di atas tadi, maka setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian
sepanjang tidak bertentangan dengan isi pasal-pasal tersebut. Perjanjian
seperti ini disebut mempunyai “sistem terbuka”, karena dapat
dilakukan oleh setiap orang. Adapun macam perjanjian ini adalah:
- Perjanjian jual beli;
- Perjanjian sewa-menyewa;
- Perjanjian pinjam-meminjam;
- Perjanjian tukar-menukar;
- Perjanjian kerja;
- Perjanjian hibah;
- Perjanjian penitipan barang;
- Perjanjian pinjam-pakai;
- Perjanjian pinjam-mengganti;
- Perjanjian penanggung utang;
- Perjanjian untung-untungan;
- Perjanjian pemberian kuasa; dan
- Perjanjian perdamaian.
Pada
umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat
secara lisan. Namun untuk sebagai bukti jika ada perselisihan ada baiknya suatu
perjanjian dibuat secara tertulis. Untuk beberapa perjanjian, undag-undang
telah menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak
dituruti maka perjanjiannya menjadi tidak sah.
Ada
beberapa pihak yang menjadi terkait dengan dibuatnya suatu perjanjian. KUHP membaginya
menjadi 3 golongan yaitu:
a. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri (Pasal
1340 KUHPerdata);
Pada
dasarnya ini merupakan asas pribadi, di mana para pihak tidak dapat mengadakan
perjanjian yang mengukat pihak ketiga, kecuali ditentukan lain dalam
perjanjiannya.
b. Para ahli waris dari pihak yang mengadakan perjanjian dan
mereka yang mendapat hak dari padanya (Pasal 1318);
Beralihnya
hak kepada ahli waris tersebut adalah akibat peralihan dengan alas hak umum
yang terjadi pada ahli warisnya. Beralihnya perjanjian kepada orang-orang yang
memperoleh hak khusus, misalnya orang yang menggantikan pembeli, mendapat
haknya sebagai pemilik.
c. Pihak ketiga (Pasal 1317 KUHPerdata)
Dalam
Pasal 1317 KUHPerdata, diperbolehkan untuk meminta ditetapkan sesuatu janji
guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang
dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang
dilakukannya pada seorang lain memuat janji yang seperti itu.
Pihak
yang telah memperjanjikan sesuatu seperti hal di atas tadi tidak dapat menarik
perjanjiannya kembali apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan
kehendaknya atau kemauannya untuk mempergunakannya.
Dapat
disimpulkan bahwa janji untuk pihak ketiga ini merupakan suatu penawaran yang
dilakukan oleh pihak yang meminta diperjanjikan hak kepada mitranya agar
melakukan prestasi kepada pihak ketiga.
Hukum
perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak
pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Asas-asas tersebut, adalah:
a. Asas kebebasan berkontrak
Berdasarkan
asas ini setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baikyang sudah
diatur atau belum diatur dalam undang-undang. Namun kebebasan ini dibatasi oleh
3 hal, yaitu:
- Tidak bertentangan dengan Undang-undang;
- Tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
- Tidak bertentangan dengan kesusilaan.
b. Asas pelengkap
Asas
ini mengandung arti jika ada hal-hal yang tidak diatur dalam perjanjian yang
telah dibuat oleh para pihak, maka berlaku ketentuan undang-undang. Hal ini
hanya berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak.
c. Asas konsensual
Asas
ini mengandung arti bahwa perjanjian terjadi saat tercapainya kata sepakat
(konsensus) antara para pihak, dan sejak saat itu timbul hak dan kewajiban
diantara kedua belah pihak.
d. Asas obligator
Asas
ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat para pihak hanya baru
menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum terjadi peralihan hak milik.
Hak milik beralih apabila dilakukan perjanjian yang bersifat kebendaan, yaitu
melalui penyerahan (levering).
Jenis-jenis
perjanjian berdasarkan kriterianya:
a. Perjanjian timbal balik dan sepihak
- Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak berprestasi secara timbal balik. Misalnya perjanjian jual beli, dalam perjanjian ini pihak pembeli wajib menyerahkan uang sebagai bukti pembayaran dan pihak penjual wajib menyerahkan barang yang dijualnya.
- Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan pihak yang lain hanya menerima prestasi. Misalnya, perjanjian hibah.
b. Perjanjian bernama dan tak bernama
- Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri dan ddiatur KUHPerdata dan KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
- Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.
c. Perjanjian obligator dan kebendaan
- Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban.
- Perjanjian kebendaan adalah perjanjian yang untuk memindahkan hak milik, seperti perjanjian jual beli; atau memindahkan penguasaan atas benda, seperti perjanjian sewa-menyewa.
d. Perjanjian konsensual dan real
- Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang baru menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak, tujuan perjanjian baru tercapai jika ada tindakan realisasi hak dan kewajiban tersebut.
- Perjanjian real adalah perjanjian yang terjadinya sekaligus dengan realisasi tujuan , yaitu pemindahan hak.
Suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena perjanjian adalah
persetujuan kedua belah pihak, maka jika akan ditarik kembali atau
dibatalkan harus disetujui oleh kedua belah pihak juga. Tetapi apabila ada
alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat di batalakan secara
sepihak. Alasan-alasan tersebut adalah:
a.
Perjanjian yang bersifat terus menerus, berlakunya dapat dihentikan secara
sepihak. Misalnya Pasal 1571 KuhPerdata tentang sewa menyewa yang dibuat secara
tidak tertulis dapat dihentikan dengan pemberitahuan kepada pihak penyewa.
b.
Perjanjian sewa suatu rumah Pasal 1587 KUHPerdata setelah berakhirnya waktu
sewa seperti ditentukan perjanjian tertulis, penyewa tetap menguasai rumah
tersebut, tanpa adanya teguran dari pihak yang menyewakan rumah, maka penyewa
dianggap tetap meneruskan penguasaan rumah itu atas dasar sewa-menyewa dengan
syarat-syarat yang sama dan untuk waktu yang telah ditentuakan menurut
perjanjian sebelumnya. Jika pemilik ingin meghentikan sewa-menyewa tersebut
maka ia harus memberitahukannya kepada pihak penyewa.
c.
Perjanjian pemberian kuasa, Pasal 1814 KUHPerdata. Pemberi kuasa dapat menarik
kembali kuasanya apabila ia menghendakinya.
d.
Perjanjian pemberi kuasa, Pasal 1817 KUHPerdata. Penerima kuasa dapat
membebaskan diri dari kuasa yang diterimanya dengan memberitahukan kepada
pemberi kuasa.
Seseorang
yang mengadakan perjanjian namun lalai untuk melaksanakan apa yang telah
diperjanjikannya maka ia disebut telah melakukan wanprestasi. Lalai dalam hal
ini adalah apabila ia:
a.
Tidak memenuhi kewajibannya;
b.
Terlambat memenuhi suatu kewajibannya;
c.
Memenuhi kewajibannya tetapi tidak seperti apa yang telah diperjanjikannya.
Apabila
dalam suatu perjanjian ada pihak yang wanprestasi maka hal pertama yang harus
dilakukan adalah memberikannya peringatan, yang dalam undang-undang peringatan
tersebut harus dalam bentuk tertulis. Jika dalam perjanjian telah dituliskan
hal apa yang termasuk dalam suatu kelalaian maka dalam hal ini tidak perlu
adanya suatu peringatan.
Seseorang
yang wanprestasi dapat digugat di depan hakim dan hakim akan menjatuhkan
putusan yang merugikannya. Pihak yang dirugikan akibat adanya kelalaian ini
dapat memilih untuk menggugat dengan berbagai kemungkinan:
a.
Meminta dilaksanakannya kewajiban sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan,
meski pelaksanaannya telah terlambat;
b.
Meminta penggantian kerugian, yaitu kerugiann yang dideritanya karena
perjanjian yang tidak atau terlmabat dilaksanakan, atau dilaksanakan tapi tidak
sesuai dengan yang seharusnya telah diperjanjikan;
c.
Menuntut pihak yang lalai disertai dengan penggantian kerugian yang dideritanya
akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian;
d.
Dalam suatu perjanjian ada yang meletakkan kewajiban timbal balik, di mana
kelalaian satu pihak mengakibatkan pihak tersebut harus memberikan hak kepada
pihak yang lain untuk meminta pada hakim agar perjanjian dibatalkan, disertai
dengan penggantian kerugian (Pasal 1226 KUHPerdata)
Penggantian
kerugian dapat dituntut berdasarkan 3 hal (Pasal 1243 KUHPerdata), yaitu:
a.
Penggantian kerugian berupa biaya yang benar-benar telah dikeluarkan;
b.
Penggantian kerugian yang menimpa harta benda pihak yang dirugikan;
c.
Penggantian kerugian berupa hilangnya keuntungan akibat adanya pihak yang
lalai.
Misalnya:
A telah mengadakan perjanjian dengan B untuk mengadakan sebuah pertunjukan
musik. B tanpa alasan yang jelas menyatakan tidak akan tampil dalam pertunjukan
tersebut, sehingga dengan terpaksa A membatalkan pertunjukannya. Dalam hal ini
yang termasuk dalam kerugian yang benar-benar telah dikeluarkan oleh A adalah
biaya-biaya persiapan yang telah dikeluarkannya untuk pertunjukan ini.
Kehilangan keuntungan yaitu hilangnya pendapatan dari penjualan tiket
pertunjukan.
Penggantian
kerugian yang menimpa harta benda ini misalnya A mengadakan perjanjian jual
beli dengan B. Dalam hal ini A akan menjual kembali barang tersebut kepada C
dengan harga jual yang lebih tinggi. Namun ternyata B lalai tidak melaksanakan
kewajibannya untuk menyerahkan barangnya kepada A, maka A berhak meminta
penggantian uang yang akan ia dapat dari C kepada B.
Pihak
dalam sebuah perjanjian yang dianggap lalai dapat melakukan pembelaan dengan
mengatakan bahwa ada hal-hal atau keadaan-keadaan di luar kekuasaannya yang
memaksanya sehingga ia tidak dapat menepati apa yang menjadi kewajibannya dalam
suatu perjanjian. Hal ini disebut Overmacht (keadaan memaksa). Untuk dapat
dikatakan keadaan memaksa, keadaan yang timbul harus berupa suatu keadaan yang
tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak
dapat dipikul risikonya oleh pihak yang dianggap lalai tersebut. Jika ia dapat
membuktikan bahwa ia benar-benar dalam keadaan overmacht, maka hakim dapat
menolak tuntutan yang diajukan kepadanya.
Keadaan
memaksa (overmacht) berdasarkan sifatnya terdapat 2 macam, yaitu:
a. Bersifat mutlak (absolut)
Salah
satu pihak tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjian, misalnya karena objek
perjanjian telah musnah karena bencana alam.
b. Bersifat tak mutlak (relative)
Suatu
perjanjian masih dapat dilaksanakan, tetapi dengan adanya pengorbanan yang
sangat besar dari salah satu pihak, misalnya harga barang yang diperjanjiakan
tiba-tiba melambung tinggi atau pemerintah dengan tiba-tiba mengeluarkan suatu
peraturan bahwa dilarang untuk mengeluarkan suatu macam barang dari suatu
daerah tertentu dan jika melanggar akan dikenakan hukuman.
Dalam
suatu perjanjian ada yang disebut dengan risiko. Risiko dalam hal ini berbeda
dengan pengertian risiko dalam perkataan sehari-hari. Dalam hukum, risiko yaitu
berkaitang dengan siapa yang akan menanggung ganti rugi apabila ada pihak yang
tidak memenuhi prestasi dalam suatu perjanjian.
Sumber
: